Berfikir dan Berbuat

     Mungkin belum terlalu lama untuk dilupakan, saat-saat syahdu malam peringatan 62 tahun Sumpah Pemuda yang diadakan oleh Korpala. Dalam remangnya ruang PKM, aku dan undangan lainnya duduk bersimpuh di atas lantai beralas plastik.
     Ada pertanyaan menarik dari teman duduk di sebelahku, yang ingin kusampaikan, saat Pak Anwar Arifin memberikan pandangan-pandangannya. Waktu itu beliau membuat pembagian mahasiswa, ke dalam empat kelompok.
     Yang pertama adalah mahasiswa kutu buku, yang kerjanya hanya kuiliah, membaca, menumpuk SKS dengan IPK yang tinggi. Kelompok ini punya kesombongan intelektual, namun tidak peka terhadap kondisi sosial di sekitarnya dan juga masyarakatnya.
     Kelompok kedua adalah mahasiswa aktifis, yang giat dalam organisasi, sehingga cenderung menjadikan kuliah sebagai acara sampingan. Dengan kesombongan dan kekuatan massanya mengangkat masalah sosial masyarakatnya, untuk diperjuangkan. Hanya sayangnya mereka malas membaca, sehingga umumnya hanya mampu mengantongi IPK yang pas-pasan kalau tidak kurang.
     Sedangkan kelompok ketiga, adalah mahasiswa yang memiliki keunggulan dengan menggabungkan kemampuan  kelompok pertama dan kedua. Inilah mahasiswa ideal, aktifis  yang juga kutu buku.
     Dan kelompok keempat adalah mahasiswa yang bukan-bukan.  Mahasiswa bukan-bukan maksudnya adalah mahasiswa yang bukan aktifis juga bukan kutu buku. Celakanya, lanjut Pak Anwar lagi, kelompok yang keempat inilah yang terbesar jumlahnya dari keseluruhan mahasiswa.
     Aku tercenung beberapa saat. Teman duduk di sebelahku berbisik sambil menggamit lenganku, "bagaimana tanggapanmu dengan klasifikasi itu?" Aku menoleh padanya sambil tersenyum tanpa menjawab. Di benakku tiba-tiba teringat sebuah dongeng dari negeri seberang.
     Kisahnya begini. Ada seorang pandir yang disuruh membeli tepung dan garam. Si pandir dibekali sebuah piring ceper, dengan pesan agar tidak mencampurkan kedua barang tersebut sambil berhati-hati dalam perjalanan pulang.
     Sesampai di warung, pemilik warung mengisi piring dengan tepung, lalu menyiapkan sejumlah garam sesuai pesanan, ketika tiba-tiba si pandir berkata, "garam itu jangan dicampurkan dengan tepung tersebut. Sini, aku tunjukkan bagaimana cara meletakkannya agar tidak tercampur."
     Si pandir memegang erat piring berisi tepung itu, lalu membalikkan piring agar mendapatkan sisi bawah piring untuk meletakkan garam. Sudah tentu tepung tertumpah berserakan ke lantai, namun garam bertumpuk rapih di pantat piring yang sudah terbalik tersebut.
     Ketika si pandir tiba di rumah orang yang menyuruhnya, ia segera menyodorkan piring berisi garam tersebut. "Oh, terimakasih.. tapi, mana tepungnya?" tanya orang itu.
     "Seharusnya ada di sini" sahut si pandir, sambil membalik piring lalu menunjukkan ke orang tadi. "Tadi tepung sudah saya letakkan di sini, sebelum meletakkan garam itu", lanjut si pandir sambil menunjuk garam yang juga telah berserakan di lantai, sesaat setelah ia membalikkan piring tadi. Tentu saja tepung pun sudah tidak tampak karena telah tertumpah di warung.
     Begitulah dongeng tersebut. Bila kita mampu mentertawakan si pandir, maka kini ada satu pertanyaan untuk kita. Mampu pulakah kita, yang telah kehilangan pertimbangan dan memandang bahwa pikiran-pikiran kita saja yang logis, untuk tidak menjadi 'si pandir yang mahasiswa'.?
diterbitkan pertama kali dalam bentuk hard copy
di buletin lembanna edisi pertama, desember 1990

1 Response to "Berfikir dan Berbuat"