Salam Rimba 11 - 13

     Beruntunglah karena alam tidak membutuhkan baris-baris kalimat dalam tumpukan kitab-kitab tebal untuk mencatat semua hukum yang mengelilinginya. Juga tidak menunggu sidang pengadilan dengan embel-embel debat para pengacara yang mencari cela untuk mengakali hasil akhir penerapan hukum yang hendak diberlakukan. Hukum alam berlangsung dengan sendirinya, tanpa perlu persetujuan mereka yang katanya adalah pemimpin di muka bumi ini.
     Tidak terbayang bagaimana ruwetnya, bila elemen-elemen di alam tidak saling mempercayai. Maka setiap implikasi dari suatu konsekuensi akan selalu dicurigai sebagai suatu konspirasi untuk tujuan-tujuan tertentu bagi kepentingan yang juga tertentu. Lalu riuhlah menyimak, mengkaji, mendebat setiap hukum yang mungkin untuk tarik menarik kepentingan elemen yang lain. Dan keberlangsungan proses yang menjadi tanggung jawab setiap unsur akan terhambat, oleh aspek curiga dan tendensi masing-masing.
     Bila pagi tidak menyertakan sinar matahari, itu bukan berarti matahari tidak terbit. Pucuk-pucuk daun yang menanti sinar itu akan tetap berproses, beradaptasi, tanpa perlu mengotori nuraninya akan prasangka tak berdasar. Sama sekali tidak ada curiga, karena nuraninya terbebas dari dengki, terbebas dari kelicikan untuk kepentingan diri atau kelompoknya. Kepercayaan akan tetap terbitnya matahari, di timur, akan menjadi kekuatan untuk tetap bertahan hidup, meski pagi hadir tanpa sinar matahari.
     Lalu para pencinta alam belajar dari setiap fenomena kepercayaan yang dianut setiap elemen di alam. Namun kegagalan hampir pasti selalu menyertai di dalam setiap lakon interaksi, karena cinta yang dimiliki menyisakan terlalu banyak tempat untuk menyemai dengki di dada. Lalu, masihkah cinta layak menjadi cinta, bila hanya menjadi topeng untuk setiap dengki yang melandasi setiap gerak nurani?

0 Response to "Salam Rimba 11 - 13"

Posting Komentar