Pencinta Alam, masih adakah?

     Ini jelas bukan pertanyaan sepele, bagaimanapun kita mencoba menyederhanakannya. Itu barulah pertanyaannya, belum lagi jawaban yang bisa lebih luas dibanding Sahara. Bisa menjadi perdebatan filosofis yang membutuhkan tenaga super ekstra untuk mampu bertahan di dalam setiap analisa. Sehingga harus dibekali kecerdasan penalaran yang tinggi bahkan lebih tinggi dari Everest.
     Dan kalau pertanyaan itu ditujukan kepadaku, maka dengan segala kerendahan hati saya mesti menjawab tidak tahu. Ketidak tahuan yang bisa saja diartikan sebagai suatu sikap masa bodoh, bahkan mungkin pula sebagai cerminan akan kebodohan yang sebenarnya akibat kurangnya informasi dan lemahnya kemampuan analisis. Sesungguhnyalah tidak mudah untuk sekadar bisa memahami suatu filosofi yang selayaknya menjadi dasar landasan way of life yang universal, apalagi sampai menganggapnya semudah membuat semangkuk bubur havermut hangat.
     Sebagai mahasiswa yang telah menjadi 'pencinta alam', ada satu pertanyaan yang selalu menggelitik, setiap kali diutarakan ketika saya pulang dari suatu pendakian di gunung. 'Mengapa ke gunung, mengapa mendaki gunung?' Gelitik pertanyaan yang terasa geli-geli enak, namun sekali-sekali menjadi geli-geli mengkhawatirkan.
     Geli-geli enaknya adalah teman-teman yang bertanya selalu dengan antusias, sambil menyelipkan apresiasi pengakuan akan kegiatan yang baru saja selesai. Pertanyaan filosofis itu tidak benar-benar dibutuhkan jawabannya. Dan semakin enaknya lagi, bahwa saya dibiarkan menjawab dengan satu senyuman sederhana. Cukup. Si penanya akan menerjemahkan, bahwa senyuman saya adalah senyum yang mengandung sejuta makna, sejuta pemahaman dan bahkan sejuta kebijaksanaan. Senyum itu lebih dari cukup untuk mewakili hal-hal yang jumlahnya sudah berjuta-juta itu. Si penanya benar-benar maklum dan merasa sangat tertolong, bila saya tetap tersenyum saja. Tidak terbayangkan berapa stamina yang harus dia persiapkan untuk mendengar dan menyimak, bila saya menerjemahkan setiap hal itu menjadi rangkaian kata.
     Geli yang mengkhawatirkan, sebenarnya adalah petaka di setiap penghujung senyum yang berjuta-juta arti itu. Khawatir, kalau saja orang yang bertanya itu ngotot untuk mendapat jawaban dalam bentuk rangkaian kalimat, dalam rangkaian kata yang nyaman dan bisa diverifikasi. Lalu apa yang harus saya katakan? Jawaban apa yang pas, yang setara dengan sanjungan yang terlanjur ikut tersirat di ekspresi dan tatapan si penanya yang begitu antusias?
     Beberapa jawaban jujur mestinya bisa saya utarakan untuk menjawab itu, namun rasa yang tidak cukup pede di nyali menjadi penghalang lidah untuk mengucapkannya. Masak iya sih aku bilang, karena 'ikut-ikutan' mode, atau karena lagi ngetren? Atau untuk sekadar pajang foto-foto aksi yang 'luar biasa' untuk ukuran mahasiswa yang bisanya hanya belajar dan belajar saja di kampus, sehingga saya bisa kelihatan keren di wall facebook saya? Atau biar saya kelihatan machonya untuk si dia yang sedang getol-getolnya saya taksir? Selanjutnya saya berharap si anu dan si anu bisa menaruh hormat, bisa menempatkan rasa segan sepantasnya untuk saya, bisa terkagum-kagum lalu koprol-koprol sambil ‘wow-wow’ karena aku ini pendaki gunung?
     Terlalu aib rasanya di benak saya untuk menjawab dengan apa adanya tersebut. Masak iya sih, mahasiswa bisanya hanya ikut-ikutan. Lalu masak cuma sekadar narsis seperti fotomodel kurang modal. Kenapa masih begitu primitif, menarik minat lawan jenis dengan cara pamer otot yang meregang dalam lelehan keringat dan daki.
     Dan itulah khawatir-khawatir yang selalu menyertai kemana-mana. Sederet jawaban sebenarnya sudah tersedia, mau yang filosofis copy-paste model lokal sampai gaya import, mau yang asal-asalan yang penting bunyi, mau yang sembrono rada-rada porno, semuanya tersedia untuk bisa dihapalkan. Namun selalu tidak sampai hati saya untuk sekadar copy-paste slogan, karena jerihnya terasa begitu menyayat bila mengatakan yang tidak sesuai dengan nurani. Dan tentu saja, copy-paste itu adalah ekspresi nyata dari suatu sikap ikut-ikutan yang sangat tidak bermartabat.
     Mungkin seperti itulah juga kalau tiba-tiba ada yang bertanya, apa sih pencinta alam itu? Berkaca pada pertanyaan ‘mengapa mendaki gunung’, maka menjawab pertanyaan terakhir ini rasanya menjadi jauh lebih sulit lagi. Terlalu banyak fenomena yang semakin menyudutkan rasa percaya diri yang sudah begitu rapuh. Satu jawaban yang bagaimanapun sederhananya, pastinya akan menuai begitu banyak sanggahan, sinisme dan pelecehan semangat dalam ekspresi penuh cibir untuk pertanyaan yang bertubi-tubi sebagai sanggahan untuk jawab yang sederhana tadi.
     Banyak paradoks yang sudah digambarkan dari masa ke masa tentang kepencinta alaman itu. Mulai dari kalimat-kalimat kasar anarkis, sampai yang mendayu dalam senandung yang indah. Bagaimana Rita Rubby Hartland menggugat keberadaan para pendaki gunung yang identik dengan pencinta alam, di dalam lagu ‘kepada alam dan pencintanya’.
     Menarik suatu kesimpulan tentang apa pencinta alam itu, bisa kita lakukan dengan mengamati hal-hal yang merupakan hasil kreasi dari mereka yang menamakan diri pencinta alam. Namun sekali lagi, kesulitan segera membentang, ketika tolak ukur dan batasan nampak sangat kabur dan luas. Kabur dan luas, memberi kesempatan untuk melahirkan penafsiran-penafsiran sendiri dari para penganutnya. Keberadaan kode etik sendiri menjadi pajangan filosofis yang tergantung tinggi di puncak menara gading, yang begitu sulit untuk diterjemahkan apalagi untuk diaplikasikan.
     Penafsiran-penafsiran liar yang menjadi definisi anutan setiap pencinta alam kemudian menjadi suatu keabsahan belaka. Menjadi permakluman yang lumrah bila setiap orang mempunyai definisinya sendiri. Bila sudah seperti itu, maka menarik suatu kesimpulan universal, menjadi sesuatu yang mustahil. Bila kesimpulan umum menjadi mustahil, maka mustahil pulalah untuk mendefinisikan apakah pencinta alam itu. Tanpa definisi yang jelas, maka sangat lumrah bagi kita untuk gagal atau keliru di dalam identifikasi.
     Kita kemudian akan terjerumus ke siklus telur-ayam. Pertanyaan joke sepele yang sering hadir di warung kopi ujung kampung sana, menyertai mentari yang merangkak meninggi. Namun seorang temanku selalu konsisten untuk menjawab ‘telur’. Seperti konsistennya ia selalu menjawab, bahwa contoh ideal pencinta alam itu adalah para ‘nabi’. ‘Semua nabi itu adalah pencinta alam’, begitu yang selalu dikatakannya bila diskusi sudah semakin mendalam tentang apa dan bagaimana semestinya pencinta alam itu.
     Nabi-nabi sepertinya bisa bahkan sangat layak untuk menjadi model yang disebut sebagai Pencina Alam. Mereka selain  menjadi penyampai 'kata-kata' Tuhan dalam bentuk kitab-kitab suci, juga membantu manusia di dalam membaca dan menerjemahkan kreasi Tuhan yang terpahat sebagai bentuk alam semesta ini. Metafora, perumpamaan dan fenomena-fenomena alam menjadi bahan halus, untuk diramu menjadi bahan pendidikan untuk manusia.
     Untuk itulah mereka melakukan perjalanan, penjelajahan, migrasi, dengan semua duka dan sukanya. Bahkan nyawa akan menjadi taruhannya, bukan hanya oleh ancaman binatang buas, oleh sulitnya medan yang harus diatasi, namun juga oleh variasi kelicikan manusia yang sebenarnya jauh lebih berbahaya dari semua itu. Tujuannya jelas, sederhana meskipun sama sekali tidak bisa dikatakan sepele. Pembelajaran, penerjemahan, perenungan akan interaksi manusia dengan semesta, akan membentuk manusia menjadi manusia yang baik. Manusia dengan wawasan yang holistik, berkesadaran semesta. Lalu manusia yang baik itu selanjutnya mampu untuk menyadari Dia sang Maha yang telah menciptakan segalanya.
     Para pencinta alam yang berkegiatan di alam bebas mestinya juga seperti itu. Apapun yang dilakukan semuanya sebagai sarana berlatih, belajar, membaca dan menerjemahkan kebaikan yang mendukung proses penempaan diri untuk menjadi ‘manusia baik’. Manusia baik yang ‘kebaikannya’ bisa ditakar secara universal, bukan sekadar baik oleh golongan kecilnya, apalagi hanya baik menurut dirinya sendiri. Kebaikan yang mampu untuk lulus uji sebagai suatu kebaikan oleh berbagai parameter, baik yang religius, yang akademis, yang filosofis dan lain-lainnya.
     Manusia baik yang kebaikannya akan segera luntur bila sedikit saja menerapkan keburukan kepada semesta dan tentu saja kepada manusia lainnya.
Hero Fitrianto
also posted at Kompasiana

2 Responses to "Pencinta Alam, masih adakah?"

  1. mohon izin mengutip tulisannya bang...

    BalasHapus
  2. keren, salut mas bro ... :-)
    pertanyaan dan perenungan wajib buat pencinta alam

    BalasHapus