Pencemaran

     Aku menguak celah-celah kepulan asap polusi, sambil sesekali mengusap mata yang pedih oleh debu. Di kiri kanan jalan, daun-daun tak hijau lagi. Warnanya coklat oleh debu yang mengendap, sementara entah masih berapa banyak lagi yang masih berterbangan.
     Dengan beberapa lompatan kecil, kuseberangi sungai berair kotor kehitaman. Rumput di sekitarnya layu menguning. Bebeapa depa lagi aku akan tiba di tujuan, yaitu gubuk seorang sahabat, yang telah banyak makan asam garam kehidupan ini. Gubuk tua di tepi tegalan kering yang di belakangnya nampak jauh gunung Bawakaraeng - terpancang kokoh dengan gumpalan-gumpalan  mega menyelimuti puncak.
     Assalamu alaikum, aku menyapa diiringi suara berderik anak tangga bambu yang kuinjak. Dari dalam salamku dibalas sambil mempersilahkan aku masuk.
     Baru saja kuletakkan pantatku di atas tikar kumal di dekat pintu masuk, sahabatku langsung menjejali dengan kata-kata yang membuatku hanya mampu terperangah.
     Kebetulan Kau datang. Kau sebagai salah satu wakil generasi sekarang harus menyadari akan apa yang kusampaikan ini. Karena di tanganmulah dan tangan-tangan pemuda sezamanmulah yamg akan memeruskan, sedang aku sendiri, oh.. aku tak tahu apakah masih akan melihat kelanjutan perjalanan dunia ini di besok hari.
     Alam yang perawan telah kehilangan keperawanannya. Hutan yang gadis telah kehilangan kegadisannya. Sungai-sungai kotor oleh limbah kimia, sedang udara menjadi kotor oleh kepulan asap dari kendaraan-kendaraan bermotor, ditambah berton-ton debu beracun yang disemburkan oleh cerobong-cerobong pabrik.
     Sementara kota-kota penuh sesak oleh manusia, jalan-jalan padat dengan lalulintas, desa-desapun telah sempit oleh ledakan penduduknya sehingga seakan-akan kita tersekap dalam kaleng yang pengap. Napas menjadi berat menyiksa dan megap-megap, seolah manusia berebut udara dari dunia yang tidak berudara lagi.
     Kita sudah lupa atau bahkan tidak mengenal lagi yang namanya hembusan angin segar dan bersih. Kemajuan telah datang.
     Bersamaan dengan itu muncul ratusan ribu pabrik yang mengepulkan bahan pencemar. Teknik pertanian yang baru dengan cara-cara modern membasmi hama, binatang-binatang kecil yang berbahaya. Dan bergembiralah kita yang akan memetik buah yang ditumbuhkan oleh bumi tanpa didahului oleh ulat dan hama.
     Tetapi disamping matinya hewan-hewan kecil yang berbahaya, maka mati pulalah hewan-hewan kecil yang bermanfaat. Lebah-lebah yang ada dalam sarangnya mati, lalu keluarlah madu dalam keadaan tercemar.
     Demikian pula ternak yang memakan tanam-tanaman itu, menjadi sakit, sehingga daging dan susunya tercemar pula. Ikan dalam air dan burung di udara pun sakit, kemudian manusia yang memakannya ikut pula menjadi sakit. Ibu-ibu  menyusui mengeluarkan asi yang tercemar. Maut tersebar kepada siapa saja, lalu segala sesuatu menjadi tercemar.
     Jadilah manusia sekarang sebagai manusia yang layu dengan nafas yang tersndat-sendat dan wajah masam. Tampak ia sudah tua dalam bilangan usia yang masih sedikit.
     Segala sesuatu telah tercemar. Pola hidup moderen telah menyebabkan ozon berlubang semakin besar. Aturan alampun menjadi berantakan. Pergantian cuaca dingin, panas, basah dan kering, hujan dan badai tidak teratur lagi. Semua datang tidak pada jalur perhitungan biasa. Saling menyimpang tanpa ada keteraturan.
     Kemudian datanglah jenis pencemaran yang paling berbahaya, yaitu pencemaran budi pekerti dan akhlak. Penemuan perangkat komunikasi yang semakin canggih, mulai dari radio, televisi, bahan cetak lalu komputer hingga gadget setelapak tangan, menyergap manusia hingga ke kamar tidur.
     Melalui media yang mewabah itu, kita dapat menyajikan kepada umat manusia apa saja yang kita kehendaki. Kita sebarkan kebatilan dan rangkaian kata-kata dusta, bahkan bisa membangkitkan birahi secara gamblang dengan audio visual dalam teknologi yang mutakhir. Siang dan malam manusia ditimbuni material sampah untuk moralnya.
     Maka terjadilah, pemuda-pemuda tidak lagi memperhatikan bangsa dan tanah airnya, apalagi agamanya. Hidup berfoya-foya, menikmati harta dari orang tuanya, yang juga didapat dari memeras orang miskin. Yang dipikirkan hanyalah kepuasan diri sendiri, kepuasan birahi yang berkobar membakar. Semua dicurahkan untuk syahwatnya, sehingga menjadi lemah dan tidak berguna.
     Parodi politisi pedagang oportunis, menjadi sajian rohani wajib di layar kaca, yang jam tayangnya selalu ditunggu-tunggu. Ini menjadi peneguh keyakinan, penyemangat sekaligus media belajar untuk mematangkan jalan hidup idaman hampir setiap orang, yaitu kemunafikan. Kemunafikan yang menjadi jijik bila diucapkan secara gamblang, namun jauh di dalam lubuk hati, menjadi panutan satu-satunya yang harus dipertahankan mati-matian. Bukankah selama ini, praktek oportunisme sudah kita kembangkan secara sadar dan tidak sadar sehingga melandasi semua aspek kehidupan kita?
     Aturan-aturan dasar kehidupan tak perlu diperdulikan lagi. Bukankah Tuhan sendiri sudah lama mati?
     Nah saudaraku, itulah keadaan generasi yang kau jalani saat ini. Sekarang, tegakkanlah kepalamu dan pandanglah hari esok lalu pilih. Kau teruskan tradisi bobrok ini atau kau harus merentangkan kedua tanganmu, lalu kembali memancangkan peradaban mulia kepunyaan umat manusia. Yah, kemulian manusia.
isi sudah diedit dari bentuk asli
yang diterbitkan pertama kali di Lembanna 04 - 1991
foto: etalasefotoberita.blogspot.com

0 Response to "Pencemaran"

Posting Komentar