Yang Agak Terlupakan

Route 01 - 12
     Ia memandangku dengan tatapan waspada yang tidak terkesan bermusuhan. Senyumnya seperti menghasilkan tabir yang masih agak segan kusibak. Matanya berbinar namun menyelidik – seolah-olah berusaha mempelajari ujung rambut sampai ujung kuku kakiku. Pakaian yang dikenakannya agak awut-awutan tapi nampak bersih dan sehat. Sikapnya yang “welcome” justru membuatku merasakan kewibawaan yang alamiah. Sungguh sebuah keramahan yang aneh.
     “Maaf, ada yang bisa saya bantu?”
      Pertanyaan klasik, ujarku dalam hati. Saya sebenarnya berharap kalimat yang lebih “maskulin”, yang sedikit lebih “straight to the point”. Mungkin seperti pertanyaan; “Boleh tahu keperluan anda kemari?” Atau “Apakah yang anda cari disini?” Itu sepertinya lebih sesuai dengan kesan pertama yang saya tangkap sebelumnya. Kalau begini, ujung-ujungnya pasti akan berakhir dengan standar; “Senang berkenalan dengan anda.” Sama saja dengan yang lain. Saya pun jadi lupa menjawab pertanyaannya.

      “Maaf, tapi boleh saya tahu keperluan anda kemari? Apakah yang anda cari disini? ” tanyanya lagi setelah melihatku cuma diam.
      Hah?! Dia seperti tahu saja apa yang ada dalam pikiranku. Padahal saya belum mengeluarkan sekalimat pun. Entah kebetulan atau tidak, yang pasti saya terkejut sekaligus terkesan dan diam-diam mulai tertarik.
      “Maaf, disini tidak menerima orang bisu,” katanya agak berkelakar.
      Saya hampir tersenyum. Caranya mengucapkan kalimat terakhir rasanya meninggalkan sedikit kesan kocak. Saya pun mulai menebak-nebak dan tak sadar memicingkan mata.
      “Disini juga tidak menerima orang yang mencari uang. Pertama karena ini bukan perusahaan dan kedua orang-orang di sini juga tidak punya uang banyak. Jika berniat seperti itu, maka anda salah pilih. Jadi sebaiknya anda kembali saja.”

      Wow! Meski ada nada pengusiran, tapi saya masih belum melihat ketidakramahan dalam kalimat tegas ini. Meski sudah tanpa kata “maaf” pada awal kalimatnya, tapi semuanya disampaikan dengan sangat datar, tetap sopan dan begitu polos. Saya pun lantas segera memastikan bahwa dia tidak sama dengan yang lain.
      Tapi, apa dia perlu tahu tujuanku kemari? Apakah nanti dia tidak terbahak bila tahu bahwa saya kesini ingin mencari sesuatu yang saya juga tidak tahu? Apa dia bisa membantuku mencari jawaban dalam ketidakpastian seperti itu?
      “Halo? Masih hidup?”
      Pertanyaan terakhirnya ini seakan-akan telah meruntuhkan dengan sendirinya tabir yang tadi masih agak segan kusibak. Meski demikian, dia sama sekali tidak gagal untuk mempertahankan kesan yang telah tercipta pada benakku tentangnya. Dia nampaknya hanya berusaha memahami kegugupanku. Dan sepertinya, dia (akan) berhasil.

      “Saya ingin mencari jawaban-jawaban,” ujarku akhirnya.
      “Kalau begitu, apa pertanyaan-pertanyaannya?”
      “Saya belum bisa merangkainya dalam kalimat meski telah tersimpan di dalam benakku selama bertahun-tahun.”
      “Kalau begitu, mari ikut saya. Kau mungkin punya kesempatan untuk merangkainya sekaligus mendapat jawabannya disini,” katanya sambil menjabat hangat tanganku.

      Dia kemudian mempersilahkanku masuk dengan sangat bersahabat dan berujar:
      “Selamat Datang di tempat dimana mimpi-mimpi bisa menjadi kenyataan!”

     Dan saya memang kemudian menyaksikan banyak mimpi disini. Bertebaran di segala penjuru, berseliweran kesana-kemari. Orang-orang berusaha mencapainya dengan sungguh-sungguh. Ada yang kesampaian, ada yang masih menggantung dan ada yang tertimbun lalu tidak muncul-muncul lagi. Saya melihat tawa dan saya juga melihat tangis yang mengiringinya. Hal yang kemudian membuatku menjadi bingung.
      “Apa kau mempunyai mimpi-mimpi?” tanyanya tiba-tiba.
      “Entahlah. Saya hanya bingung.”
      “Kau harus tahu mimpimu. Suatu waktu kau harus mengejarnya,” ujarnya tanpa berusaha menanggapi kebingunganku.
      Saya pun bertambah bingung dengan “teori” mimpi ini. Saya menjadi agak gusar. Mungkin saya salah telah berada disini.
      “Saya hanya mencari jawaban dari pertanyaan yang belum bisa kurangkai selama bertahun-tahun. Bukan mau bermimpi!” ujarku agak sengit.
      “Bagaimana kau bisa melakukannya tanpa bermimpi?”
      “Maksudnya?”
      “Disini semua motivasi sah-sah saja. Selama tidak melanggar aturan atau bermaksud mencari duit, silahkan jalan. Orang-orang disini tidak bisa memberimu jawaban, mereka hanya bisa membatumu mencari jawaban yang kau inginkan. Dan hanya dengan impianmu mereka bisa melakukannya,” ujarnya panjang lebar.
      “Keinginan mencari jawaban dari pertanyaan yang belum bisa kau rangkai selama bertahun-tahun, itulah mimpimu sesungguhnya saat ini,” lanjutnya serius.

      Saya cukup bisa menerima dan mulai sedikit terpesona. Namun berada di antara banyak mimpi, membuatku merasakan kekacauan. Saya belum terbiasa dengan kondisi di sini.
     “Kalau orang di sini semua mengejar mimpinya masing-masing, saya bisa membayangkan betapa kacaunya keadaan disini. Mengapa bukan mimpimu saja yang mereka kejar?” tanyaku lagi.
     “Saya tidak bisa bermimpi. Saya hanya punya tujuan. Kalau mimpi mereka searah dengan tujuanku, maka mereka mungkin bisa mencapainya. Kalau tidak, saya tidak yakin mereka bisa mencapainya. Meski demikian, mereka mungkin saja bisa mencapainya – dengan bantuanku atau tidak. Tapi tidak bersamaku.”
      “Lantas, apa tujuanmu sebenarnya?”
      “Baca itu,” katanya sambil menunjuk semacam diktat yang terletak di atas meja.
     Saya pun lalu mengambil semacam diktat itu dan sibuk dengan isinya beberapa saat.

      “Mengapa bukan tujuan ini saja yng mereka jadikan dasar untuk meraih mimpi-mimpi?” tanyaku kemudian setelah habis membaca semuanya.
      “Idealnya begitu. Tapi saya tidak bisa mengatur mimpi setiap orang di sini, kan? Ingat aturan tentang motivasi tadi?”
      “Bahwa semua motivasi sah-sah saja selama tidak melanggar aturan atau mencari uang?”
      “Betul.”
      “Lantas, siapa yang membuat tujuan-tujuan ini?”
      “Mereka.”
      “Saya jadi bingung.”
      “Mengapa bingung?”
      “Bagaimana kalau seseorang menyusun tujuan-tujuan ini hanya berdasarkan mimpi-mimpi pribadinya?”
      “Tujuan ini disusun oleh banyak orang. Kalau pun kenyataannya seperti itu, banyak orang yang akan mengujinya sebelum disetujui. Kalau cocok dan lolos uji kualifikasi, mengapa tidak?”

      Sekali lagi saya cukup bisa menerima. Jawaban yang cukup logis.
      “Saya merasa ada semacam nuansa ilmiah yang demokratis dalam proses itu,” nilaiku kemudian.
      “Betul. Seharusnya begitu. Harapannya nanti, ada semacam simbiosis mutualisme antara saya dengan mereka – dan mungkin juga denganmu nanti. Mereka bisa meraih mimpi-mimpi mereka dengan saya. Hanya dengan cara itulah saya bisa tetap bertahan hidup. Dan dengan cara itu jugalah kita masih bisa bertemu sekarang.”

      Saya mulai paham sekaligus semakin penasaran.

     “Apakah...,”
     “Sudah. Kau terlalu banyak bertanya,” ,” ujarnya cepat memotong pertanyaanku.
     “Kau tidak bisa mendapatkan jawaban hanya dengan bertanya terus. Itu tidak berlaku disini. Lebih baik kau ikuti saya.”
      Dia selanjutnya menemani hari-hariku menyaksikan banyak hal. Orang-orang yang berdebat sengit sampai menyentuh batas kata permusuhan; jalinan pertemanan yang kental sampai menyentuh batas kata persaudaraan; kesuksesan yang penuh euforia sampai menyentuh batas kata kesombongan; kesulitan yang besar sampai menyentuh batas antara hidup dan mati, hingga; penegasan terhadap kebenaran ayat-ayat Tuhan sampai air tak terasa menetes dari mata. Saya seperti menyaksikan replika kehidupan di sini. Sedikit demi sedikit pertanyaan bertahun-tahun di benakku mulai terangkai, sekaligus mulai terkuak jawabannya satu per satu.

      Tidak hanya itu, dia juga memberi bonus macam-macam pengetahuan yang bermanfaat kepadaku - sebuah hal yang selalu diakuinya mampu membuatnya tetap ada. Apa yang tidak menarik bagiku di bangku sekolah, kini dengan antusias kulahap.
      Meski tak pernah diakuinya, kenyataannya dia telah mengajariku dengan gamblang tentang aplikasi nyata dari teori Perilaku Individu dalam mata kuliah Perilaku Keorganisasian, teori pengaruh lingkungan atau beberapa aplikasi teori Managemen Strategi. Disini saya belajar bersikap profesional; mengambil tanggung jawab, mengelola resiko atau membedakan saat berlaku sebagai rekan kerja dan saat berlaku sebagai seorang teman. Diasahnya juga kemampuan jurnalistik dan fotografiku dengan praktek langsung. Tak lupa diberikannya kesempatan kepadaku untuk belajar mengajar. Dia bahkan menyediakan saluran untuk memahami Kitab Suci yang dulu hampir kulupakan, dengan lebih baik.

      Dia hanya menginginkan saya aktif. Katanya, sekali lagi, hanya dengan cara itu dia akan bisa tetap hidup. Dia tidak pernah meminta bayaran dari apa yang telah diberikannya kepadaku. Sama sekali tidak! Rasanya saya harus terus bersyukur kepada Tuhan karena telah memberi kesempatan untuk bertemu dengan dia pada sebuah titik dalam kehidupanku.
*****
      Dua Puluh tahun kemudian, saya kembali bertemu dengannya. Pada suatu pagi buta yang remang-remang, dimana orang-orang kebanyakan sedang tertidur. Masih tetap bersahabat, dia rasanya menyambutku dengan senyum hangat. Tidak menyelidik ujung rambut sampai ujung kuku kakiku lagi seperti dulu ketika pertama bertemu. Dia, rasanya, hanya terus memandang ke arahku. Tanpa kata-kata.
      Saya lalu duduk tepat di depannya tanpa dipersilahkan sambil memperhatikan kondisinya sekarang. Binar matanya sedikit redup. Pakaiannya awut-awutan – nampak kotor dan tidak sehat. Tiba-tiba saya tidak mau menakar nilai kewibawaannya sekarang. Saya tidak mau bertanya mengapa kondisinya seperti itu. Sepertinya lebih bajik kalau saya diam dan menunggu dia menjelaskan sendiri. Namun tetap tak ada kata-kata yang keluar. Kami haya saling bertukar pandang dan terus terdiam. Saya tidak melihat gairah.
     Entahlah.
     Yang pasti, tiba-tiba ada kesedihan yang menjalar dalam hatiku. Lambat namun pasti. Terutama ketika melihat pakaian berwarna biru langit yang dulu turut kukenakan padanya bersama teman-teman lain, kini telah dipenuhi banyak coretan yang entah apa maksudnya. Saya tidak mau berhipotesa, apalagi berspekulasi. Saya tidak tahu kondisi sekarang. Tapi saya tidak mampu menahan hasrat lagi.

      “Apa betul Facebook telah menggantikan fungsimu?” tanyaku padanya kemudian. Itu bahasa hati yang kuharap hanya bisa didengar olehnya. Takut membangunkan komentar orang-orang yang masih lelap di sisinya.
      Meski saya yakin dia mendengarkan, tapi tetap saja tak ada jawaban darinya. Dan saya cukup tahu diri. Jadi saya tidak harus mengulangi pertanyaanku.
     “Bagaimana pun, saya masih dan akan tetap menyimpanmu pada sebuah bab dalam buku hidupku,” bisikku kepadanya akhirnya. Amat lirih, takut membangunkan orang-orang yang masih lelap di sisinya.
      Cuma itu, tak ada yang lain.

     Saya lalu menghirup kopi hangatku. Terasa sangat pahit meskipun kelebihan gula.
     Ah, setidaknya sampai sekarang namamu masih D4.

K-193
Waetuwo-Watampone, September 2011

2 Responses to "Yang Agak Terlupakan"

  1. oh GOD ...haru biru rasanya hatiku membaca ini.ada rindu berkelindan, meski sebenarnya pertalian formil dia dgn ku telah putus, tapi...ketajaman asahannya, kekuatan tempaannya, kehangatan rangkulannya, keceriaan candanya,keunikannya dalam segala hal, ...ah dia masih tetap memikat ku.

    BalasHapus