Salam Rimba 12-12

     Meski mengetahui, menebang sebatang pohon di water catchment area bisa mengakibatkan banjir di muara, namun selalu ada godaan untuk pembenaran melakukannya. 'Hanya' sebatang pohon, seberapa besar sih dampaknya? Ketika sebatang semakin berbilang, waktu pun merentang, tiba-tiba banjir menyeruduk peradaban.
     Banjir menjadi fenomena, sekaligus hukuman. Banyak yang tidak ikut menebang pohon-pohon itu, menjadi penanggung hukuman. Sementara yang benar-benar terlibat deforestrasi, hanya menyisakan sedikit sesal di hati. Bahkan derita oleh hukuman banjir masih dirasakan sebagai sesuatu yang tidak pantas untuk ditanggungnya. Untuk sebatang pohon saja mengapa mesti banjir seperti itu.
     Konsekwensi, menanggung akibat dari setiap sebab. Tetapi jiwa-jiwa kerdil perusak itu tetap kerdil untuk bisa menyadari adanya konsekwensi dari setiap laku. Dari kekerdilan itu, memang sangat sulit mengharapkan adanya semaian kualitas yang bisa bertanggung jawab. Yang bisa dengan ksatria menegakkan kepala untuk mengatakan, 'inilah hasil perbuatan saya' lalu dengan gagah untuk menanggung segala konsekwensinya.
     Kepengecutan kita menjadi senda gurau, seperti pengecutnya kita untuk tetap disiplin tidak melanggar etika di dalam tatanan ekosistem. Pembenaran demi pembenaran harus diciptakan, kebohongan dan penyembunyian fakta menjadi sesuatu yang lumrah. Dan karena lumrah, maka seakan semua itu adalah hal yang wajar saja. Kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan terus menerus, pertama akan terasa wajar, selanjutnya akan terasa sebagai kebenaran.
     Dan menjelang akhir 2012, seperti biasa menjadi mode senda gurau, untuk melakukan telaah terhadap laku di rentang waktu yang lalu. Telaah yang akan menjadi sangat berguna, bilamana dilanjutkan dengan tekad kuat dan usaha maksimal untuk mengimplementasikan setiap koreksi yang muncul.
     Seperti Lembanna yang menjadi media transformasi, tidak pernah ada kata terlambat untuk memuliakan peradaban manusia.

0 Response to "Salam Rimba 12-12"

Posting Komentar