Lembanna Pada Suatu Waktu

     Dulu...
     "Oh, kau Nak, masuk ki'.." sahut si empunya rumah. "Berapa orang ko semua, naik apa datang kemari, mau ko ke atas naik gunung?", sambung tuan rumah dengan aksen Makassar sembari menyiapkan makanan dan minuman panas buat sang tamu.
     Selanjutnya jika sang tamu hendak berkunjung ke gunung, sejumlah petuahpun meluncur dari mulut tuan rumah, seperti 'hati-hati ko nak', 'sadarko, jangan terlalu memaksakan diri', 'saling menjaga ko...' dan seterusnya. Itulah sekilas dialog yang sring terjadi di Lembanna. Dialog antara pencinta alam dan masyarakat Lembanna. Dialog antara jiwa muda ke dalam hati tuanya.
     Negeri kecil dikaki gunung Bawakaraeng itu, punya tempat tersendiri di hati para pencinta alam. Menyebut Lembanna berarti berkisah tentang perjalanan pencinta alam dengan prosesnya yang kompleks. Penyadaran diri pada sudut-sudut kehidupan modern dan logika-logika yang rapuh. Di Lembanna banyak lahir ide-ide cemerlang para pencinta kehidupan. Entah itu ketika sedang meniti setapak gunung Bawakaraeng atau ketika sedang meneguk kopi panas pengimbang hawa dingin Lembanna.
     Lima dekade yang lewat, Lembanna hanyalah tanah yang berilalang dan bersemak belukar. Beberapa daerah tepiannya sempat dijadikan kebun oleh masyarakat, secara tradisional. Kala itu kampung terakhir persinggalan para pandaki adalah Kampung Beru, serta sebagian tanah di sisi Utara Lembanna. Sedangkan Lembanna yang ada saat ini merupakan lintasan pendakian.
     Kabut datang dan pergi. Seakan menyambut era kebangkitan pencinta alam. Satu demi satu tumbuh kelompok-kelompok pencinta alam dengan berbagai latar belakang dan tujuan, hingga dengan lahirnya Kode Etik Pencinta Alam Indonesia pada gladian IV tahun 1974 di Ujung Pandang. Saat itu juga, seluruh ornamen alam semesta sudah harus membuka diri. Para pencinta alam akan datang pada setiap ornamen-ornamen dengan jaminan kode etik tadi.
     Salah satu ornamen alam Sulawesi yang pantas untuk menjadi assesori pencinta alam adalah gunung Bawakaraeng. Tingginya hanya 2883 meter dari muka laut, namun kandungan keganasan rimbanya yang melebur dengan keindahan alamnya serta historis mistisnya merupakan persoalan kaum pencinta alam.
     Bawakaraeng lalu dibedah dari berbagai sisi. Lintasan yang melalui Kampung Beru boleh dikata tidak pernah sepi. Pada tanah datar yang tak bertuan mulai tampak tiang-tiang tempat tinggal. Keinginan pencinta alam untuk lebih dekat ke kaki gunung, secara psikologis telah merangsang beberapa orang penduduk untuk membangun rumah. Seikat demi seikat ilalang terpangkas. Aliran sungai diarahkan ke pancuran yang berderet rapih di depan rumah. Mawar merah berkelopak lebar mewarnai setiap halaman. Tak ketinggalan kembang Masamba bergerombol damai dengan bunganya yang putih keunguan. Kedamaian hadir melingkupi kampung ini. Edelweis tumbuh tenang di sekitarnya.
     Kini kampung itu bernama Lembanna yang berarti perpindahan, pindahkan. Masyarakat Lembanna umumnya berasal dari kampung-kampung sekitarnya. Posisi kampung Beru telah digantikan oleh Lembanna sebagai persinggahan terakhir sebelum pendakian ke Butta Toa (Tanah Tertua), nama lain Bawakaraeng.
     Beraktifitas ke alam lepas sambil berinteraksi dengan alam dan sosial budaya setempat adalah hal yang perlu disimak oleh kaum pencinta alam. Memang interaksi tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Interaksi itu berproses. Interaksi itu memerlukan kesadaran yang matang. Dan Lembanna yang kian majusaja turut memajukan sejumlah permasalahan. Mungkin karena semkin majemuknya kontak sosial yang terjadi telah mengharuskan ia untuk tidak begitu-begitu saja. Secara pasti, pembenahan untuk meningkatkan taraf hidup, sangat mereka dambakan. Seperti halnya dengan Lembanna-Lembanna lain di Nusantara.
     Belum banyak sumbangsih pencinta alam di negri kaki gunung Bawakaraeng, tapi ada. Paling tidak para pencinta alam telah menunjukkan bahwa kode etik pencinta alam adalah kata hati pencinta alam. Biar keikhlasan yang diberikan masyarakat Lembanna adalah ikhlasnya gunung Bawakaraeng untuk didaki.  Kita jaga itu. Bagi mereka tamu adalah raja. Dan raja adalah orang yang arif bestari. Lembanna adalah sebuah proses perjalanan hidup, penjelajahan diri untuk berpindah menuju hidup yang abadi. Raja bagi diri dan hati kita.
(NDN - ketika kabut turun)
diterbitkan pertama kali dalam bentuk hardcopy
di Bulletin Lembanna edisi pertama 1990. 
photo : kabarkami.com

0 Response to "Lembanna Pada Suatu Waktu"

Posting Komentar