Tamu

Contour 10 - 11
      Mengenang dekade akhir 80-an, mengunjungi Lembanna bukan hanya sekadar untuk mendaki ke Bawakaraeng. Ada getar tersendiri di dalam batin, ketika kebersahajaan penduduk menyambut kita para 'tamu' yang mempir sebelum mendaki. Penerimaan yang tulus, menyambut dengan hangat dalam keramahan yang ikhlas tidak dibuat-buat para tamu yang beberapa diantaranya sudah dikenal baik, setengah kenal bahkan sebahagian besar yang baru berjumpa.
     Tidak peduli, apakah tetamu itu orang baik-baik, orang bermartabat atau rakyat kebanyakan, atau mungkin ada yang pelaku tindak kriminal, semuanya mendapat perlakuan yang sama. Hanya alur kalimat yang sedikit membedakan, bagi mereka yang sudah sering berkunjung ke sana, ditimpali candaan ala kadarnya khas masyarakat pedesaan, dibandingkan dengan mereka yang baru dikenal. Namun itu tidak berlangsung lama, karena keakraban itu akan segera muncul yang segera menjadi kental ketika kaki sudah menjejak ke dalam rumah.
     Kopi yang tersaji adalah hasil proses rebusan air menggunakan kayu bakar. Belum ada listrik sama sekali sehingga untuk mendengarkan siaran radio saja, menggunakan baterai yang telah dijemur berkali-kali dan sudah penyok-penyok digebuk demi mengeksporasi sisa-sisa tenaganya. Lantai rumah yang sebagian tanah dan sebagian lainnya tertutup papan yang sudah termakan rayap di beberapa tempat, menjadi penyangga kehangatan antara tuan rumah dan tetamu yang mampir.
     Ketika sampai saatnya meninggalkan Lembana, tuan rumah akan mengantar dan melepaskan kepergian tetamu dengan berat hati. Banyak pesan agar hati-hati di perjalanan pulang, sambil menitipkan tentengan ala kadarnya hasil dari halaman belakang untuk oleh-oleh orang di kota nanti. Itupun kadang masih desertai rengekan agar tetamu masih mau tinggal lebih lama.
     Ah.. manusia itu menemukan kedamaiannya ketika berinteraksi dengan sesama manusia..
     Di hari-hari belakangan ini, Korpala juga disesaki oleh tetamu, yang bukan hanya tamu domestik tetapi juga tamu mancanegara. Dan belajar dari kearifan lokal yang diwariskan melalui rentang waktu yang tidak sedikit, menjadi kebanggaan tersendiri ketika kita mampu 'melayani' dengan baik, tulus dan ikhlas. tetamu yang sempat mampir ke Korpala. Menjadi tuan rumah yang begitu manusiawi, telah mengetuk sisi nurani kemanusiaan para tetamu, yang mungkin telah lama tidak mereka rasakan. Sisi paling primitif dan paling sering terlupakan atau mungkin tidak sempat muncul di keseharian tetamu kita, adalah 'rasa kesadaran sebagai manusia' yang tak sanggup terlukiskan dengan kata-kata, ketika orang diperlakukan sebagai manusia oleh manusia lainnya.
    
Salam hangat dari D4,
Rotrian

0 Response to "Tamu"

Posting Komentar